MBTI dan Gender: Cowok Feeler dan Cewek Thinker

“Cowok sama cewek tuh beda. Cowok mikir pake otak, kalo cewek pake perasaan.”

Kalian pasti pernah denger kalimat semacam ini dalam kehidupan sehari-hari. Konsep ini sudah diyakini oleh kebanyakan orang selayaknya fakta, terutama di dalam masyarakat dengan budaya patriarkis yang memegang teguh peran gender tradisional seperti di Indonesia. Bahwa diasumsikan perempuan itu perasa dan laki-laki itu pemikir sejak lahir.

Lalu, gimana dengan orang-orang yang nggak sesuai dengan stereotipe gender seperti cewek galak dan frontal dan cowok yang super perhatian dan gampang tersentuh? Pasti kalian pernah berhadapan dengan orang-orang seperti ini. Nah, kali ini admin ingin membahas soal cowok Feeler dan cewek Thinker dalam konteks MBTI, bagaimana mereka dipandang masyarakat, dan bagaimana mereka berkembang sebagai individu ketika budaya bersinggungan dengan kepribadian mereka.

Sebenernya ada berapa banyak, sih, cowok Feeler dan cewek Thinker di sekitar kita? Dan apa benar lebih banyak cowok Thinker dan cewek Feeler dibanding sebaliknya? Jawabannya, ya. Preferensinya memang benar bahwa perempuan lebih banyak yang Feeler dan laki-laki lebih banyak Thinker. Perbandingannya kurang lebih 60:40 untuk Thinking pada laki-laki dan Feeling bagi perempuan, yang berarti cowok Feeler dan cewek Thinker bisa disebut sebagai minoritas di gendernya masing-masing.

This slideshow requires JavaScript.

Lalu, apa pengaruhnya? Budaya di sekitar kita lahir sebagai dampak dari preferensi mainstream atau mayoritas populasi di sekitar kita. Misalnya, di dunia ini lebih banyak Sensors dibanding iNtuitives—dengan SJs di peringkat pertama dan SPs di peringkat kedua. Dampaknya, budaya kehidupan sehari-hari kita cenderung fokus dengan dengan kehidupan masa kini dan lebih mempentingkan praktikalitas/reliabilitas alih-alih mereka-reka masa depan dan konsep-konsep abstrak. Kita lebih sering diajak untuk bersikap “work hard and strive for success” (mayoritas SJ) dibandingkan “question everything and seek the truth” (NT sebagai populasi paling sedikit).

This slideshow requires JavaScript.

Begitu juga dengan Thinking vs. Feeling. Karena Feeling identik dengan perempuan dan Thinking dengan laki-laki, budaya terbentuk sedemikian rupa. Maka, lahirlah nilai bahwa perempuan itu peduli dan sensitif dan laki-laki itu rasional dan cuek. Terus, gimana dong, sama mereka yang nggak seperti kebanyakan? Tentunya mereka akan cenderung berhadapan dengan pengalaman, perlakuan dan perkembangan yang berbeda dari kebanyakan.

Cewek Thinker biasanya rentan dinilai sebagai banyak hal mulai dari sombong, judes, sampai dipertanyakan femininitasnya. Begitu juga dengan cowok Feeler, biasanya lebih hebat lagi tantangannya karena budaya kita biasanya memandang remeh cowok yang perasa karena kalau cowok menampilkan emosi secara bebas biasanya akan dicap lemah atau nggak laki banget. Some would even go as far as calling them names such as “gay” atau “banci”. Sehari-hari, mereka akan menerima tuntutan untuk bersikap lebih sesuai dengan mayoritas gendernya—to which the Thinker girl might say, “But I don’t give a damn what you think about me!” and the Feeler guy might ask, “But why must I be someone I’m not?”

Yang jadi pertanyaan: apa masalahnya? Sebenarnya kalau diteliti tidak ada masalah. Cuma lingkungan saja yang biasa merasa aneh dan akhirnya mengajak individu itu untuk berubah. Mereka biasanya akan diancam dengan berbagai hal: nggak laku lah, susah sukses, dll. Padahal kalau dilihat-lihat, preferensi Thinking vs. Feeling tidak menentukan hidup seseorang. Seperti Barack dan Michelle Obama yang merupakan pasangan ENFJ-ENTJ, mereka tetap bisa disegani rakyatnya dan berkarya sesuai kemampuannya.

Namun, hasil dari pandangan masyarakat yang berbeda ini biasanya akan membuat lawan dari fungsi cowok Feeler/cewek Thinker berkembang lebih dahulu dan membuat fungsi Thinking-Feeling lebih seimbang dibanding orang-orang yang preferensinya sesuai dengan mayoritas. Misalnya perempuan INTP akan mengembangkan Fe-nya karena lingkungannya lebih nyaman dengan perempuan yang ramah dan mengerti kebutuhan orang. Laki-laki ESFP juga akan didorong untuk mengembangkan Te-nya karena laki-laki diajak untuk memimpin dan bersikap objektif.

Tapi di sisi lain, perlakuan yang berbeda ini juga dapat membawa dampak buruk dan menghambat perkembangan. I think it wouldn’t be a surprise if INFP guys tend to be gloomy because they might feel like outcasts who don’t belong atau cewek ESTP yang dianggap terlalu kasar dan liar, akhirnya kemampuan mereka malah tidak tersalurkan dengan baik. Masalah lain adalah orang-orang ini dapat membangun persona sebagai topeng agar tidak dikecam orang lain yang mungkin malah mengganggu perkembangan kepribadiannya. Nggak menutup kemungkinan juga cowok Feeler dan cewek Thinker akan mistyped dalam MBTI.

But the point is it’s okay if you’re not like most people of your gender; it doesn’t make you have any less worth. Cowok Feeler biasanya akan dinilai lebih karismatik dan membangun relasi yang kuat dengan orang-orang di sekitarnya karena orang merasa nyaman. Sementara cewek Thinker biasanya dikagumi karena pendiriannya dan kemampuan problem-solvingnya, so they can be drama-free. Bukan masalah kalau beberapa laki-laki berasal dari Venus, sementara beberapa perempuan datang dari Mars. You do you.
—INFJ🌙

 

Sources & further reading (check them out for more exact datas and interesting discussions combining MBTI and gender):
http://www.slayerment.com/mbti-gender
http://www.truity.com/blog/feeler-men-and-thinker-women
https://marissabaker.wordpress.com/2015/04/20/thinking-women-and-feeling-men/

Leave a comment